Baleg Minta Masukan KY Terkait UU Mahkamah Agung
Badan Legislasi (Baleg) DPR RI meminta masukan Komisi Yudisial (KY) terkait dengan penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang perubahan ke tiga atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. RUU ini merupakan salah satu RUU yang harus segera dipersiapkan karena masuk dalam Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2011.
Dalam rapat dengar pendapat, Selasa (13/9) yang dipimpin Wakil Ketua Baleg Sunardi Ayub mengatakan, RUU ini diperlukan untuk lebih memantapkan kedudukan Mahkamah Agung sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman dan merupakan lembaga peradilan tertinggi di Indonesia.
Saat ini, katanya, Undang-undang yang mengatur Mahkamah Agung adalah UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dua kali yakni dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009.
Dalam rangka penyusunan RUU inilah Baleg memerlukan banyak masukan dan pendapat dari beberapa narasumber/pakar dan beberapa stakeholders lainnya. Masukan dan pendapat tersebut sangat diperlukan untuk penyempurnaan draft RUU yang sedang dipersiapkan Baleg.
Pada kesempatan tersebut Komisi Yudisial memberikan beberapa pokok pikiran terkait dengan perubahan ke tiga atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Ada tujuh hal penting yang disampaikan yaitu terkait dengan pembangunan dan penataan sistem peradilan, pembatasan kasasi dan pembentukan sistem kamar, pengawasan hakim, pengawasan tertinggi dan teknis peradilan, Hakim Agung adalah Pejabat Publik, rekrutmen Hakim Agung dan usia Hakim Agung 70 tahun.
Mengenai pengawasan hakim, Wakil Ketua KY H. Imam Anshori Saleh mengatakan, berbagai peraturan perundang-undangan serta tuntutan reformasi dan tidak efektifnya pengawasan internal oleh Mahkamah Agung adalah alasan-alasan kelahiran Komisi Yudisial dalam sistem ketatanegaraan RI.
Dengan kehadiran Komisi Yudisial, maka secara normatif sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, lembaga yang berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim agung adalah Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.
Dalam Pasal 32A UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung pengawasan oleh ke dua lembaga ini dibagi dalam dua kategori yaitu, pengawasan internal atas tingkah laku hakim agung dilakukan oleh Mahkamah Agung dan pengawasan eksternal atas perilaku hakim agung dilakukan oleh Komisi Yudisial.
Dalam implementasinya ketentuan ini menimbulkan kesulitan, sebab tidak jelas apa makna, persamaan dan perbedaan antara kata “tingkah laku” dan kata “perilaku”. Penjelasan atas pasal tersebut hanya menyatakan pengawasan internal atas tingkah laku hakim agung masih diperlukan meskipun sudah ada pengawasan eksternal yang dilakukan oleh KY.
Hal ini dimaksudkan agar pengawasan lebih komprehensif sehingga diharapkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim betul-betul dapat terjaga. Namun, kata Imam, bila ditelaah secara mendalam kata masih diperlukan menunjukkan bahwa pengawasan internal oleh MA hanya bersifat sementara dan bersifat mendukung pengawasan eksternal yang dilakukan KY.
Mengingat kendala dalam implementasi dan untuk efektifnya pengawasan terhadap hakim agung, Imam mengusulkan perlunya dipertimbangkan bahwa pengawasan internal atas tingkah laku hakim agung oleh MA untuk dihapus dan pengawasan eksternal perilaku hakim agung dilakukan oleh Komisi Yudisial.
Imam juga menggarisbawahi bahwa hakim agung adalah pejabat publik. Pendapat ini didasarkan pada pemikiran bahwa Hakim Agung diusulkan pengangkatannya oleh Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapat persetujuan.
Hal penting lainnya yang perlu dipertimbangkan adalah usia pensiun Hakim Agung 70 tahun. Menurut Imam batas usia pensiun ini perlu dipertimbangkan mengingat belum mencapai usia 70 tahun banyak Hakim Agung yang sakit atau meninggal.
Selain itu, usia pensiun dimaksud berpotensi menghambat regenerasi hakim agung di Mahkamah Agung dan sekaligus menghambat kesempatan bagi hakim-hakim karier yang telah memenuhi persyaratan untuk menjadi hakim agung sebagaimana telah ditentukan oleh UU. (tt)